Gara-gara Kalkulus
Dinginnya pukul empat pagi tidak mengalahkan semangatku untuk
menaklukkan sederet angka matriks yang sudah ku ulik sejak pukul sepuluh
malam dengan ditemani lagu Mariah Carey yang ku putar berulang-ulang.
Aku sama sekali belum tidur, aku sudah bertekad untuk mendapatkan nilai
seratus pada ujian kakulus pada pukul tujuh pagi hari ini. Aku sudah
kesal diejek oleh teman-temanku karena selalu mendapatkan nilai nol pada
setiap ujian.
“Ah, akhirnya konsepnya sudah aku kuasai sepenuhnya! Lihat saja,
nilai 100 pasti aku dapatkan!” Ujarku tanpa sadar dengan setengah
berteriak. Seketika itu, Adzan pun berkumandang, aku segera memenuhi
kewajibanku dan berangkat ke surau dekat rumah.
Ayam pun berkokok, menyambut mentari pagi yang mulai menampakkan
sinarnya. Dan seorang lelaki menuju dewasa masih tertidur dengan manis
diatas kasurnya, lengkap dengan peci dan sarungnya.
“AAAAAAAARGHH! Jam berapa ini?! Hah, jam delapan?! Apa kabar ujian
kalkulusku?” Aku mengerang panik, tak tahu harus menyalahkan siapa. Aku
tahu jelas bahwa meskipun aku berlari ke sekolah sekarang, ujian
matematika pasti sudah selesai dan aku akan menjadi bulan-bulanan teman
sekelasku lagi.
“Ah sudahlah, bagaimanapun aku harus berangkat ke kampus” hati
kecilku memaksa untuk tetap berangkat ke kampus meski aku tahu Pak
Suripto tak akan pernah mengizinkan siapapun masuk ke kelasnya jika
terlambat semenit pun.
Aku pun berlari ke kampus. Tapi.. kok kampus sepi sekali ya?
“Eh, ada bang Tofun, ngapain bang minggu-minggu adem gini ke kampus?” sapa Pak Hamid, petugas keamanan di kampus.
“Apa pak? Hari ini hari minggu?!” timpalku tak percaya.
Naas, sudah semangat 45 untuk ujian kalkulus, rupanya aku salah lihat kalender lagi.