Dia kah takdirku?
Fatimah Al-Khelaif lagi-lagi menolak laki-laki yang datang
melamarnya. Ayahnya benar-benar merasa malu akan sikap putri bungsunya
yang satu ini. Sebenarnya bukannya ia tak ingin menikah, tapi ia merasa
takut mengalami hal yang serupa yang dialami oleh kakak perempuannya.
Hanya baru beberapa bulan saja mereka menikah, tak lama kemudian mereka
pun bercerai. Penyebabnya adalah sang suami yang ringan tangan dan
sering berkata-kata kasar pada istrinya. Padahal di awal pernikahan
mereka, ia begitu romantis dan sangat lembut terhadap wanita.
Kini dalam pikirannya, ia menganggap semua laki-laki sama saja.
Mereka akan berlaku manis untuk mendapatkan seorang wanita. Namun, jika
ia telah menaklukannya, wanita itu pun dicampakkan. Pikiran negatifnya
akan laki-laki semakin menguat dalam otaknya ketika dia banyak sekali
mendapatkan e-mail dari teman-temannya yang telah menikah. Mereka
ternyata juga sering mendapatkan perlakuan kasar dari suami-suami
mereka. Hanya ada beberapa saja yang mengaku bahagia dengan bahtera
rumah tangganya, dan sisanya adalah keluhan dan penyesalan.
Fatimah semakin yakin dengan pemikirannya. Ia bahkan mulai menolak
untuk bertemu jika ada laki-laki yang datang ke rumahnya untuk sekedar
bersilaturahmi. Padahal, laki-laki yang datang ke rumahnya bukanlah
lelaki biasa, kebanyakan para pejabat negara, baik dalam negeri maupun
luar negeri . Ayahnya sudah kesal bukan kepalang, tidak sedikit dari
para lelaki yang datang itu marah dan mengancam akan memutuskan hubungan
kekerabatan. Saking kesalnya, Ayahnya memutuskan untuk membiarkan
Fatimah yang keras kepala, ayahnya sudah menyerah mencarikan lelaki yang
tepat untuknya.
Dalam hati Fatimah, sebenarnya ia merasa sepi. Sudah hasrat seorang
wanita untuk memiliki sosok lelaki yang melindungi. Namun ketakutannya
jauh melebihi keinginnannya sehingga ia bersikeras untuk tetap
sendirian.
Suatu hari, Fatimah pergi ke suatu tempat menggunakan bis umum yang
penuh berdesakan. Fatimah mencari posisi untuk berdiri, namun sebelum ia
sempat menggerakan kakinya, seorang lelaki berbicara padanya.
“Maaf Ukhti, silahkan duduk saja di tempat saya, biar saya yang
berdiri” ujarnya sambil beranjak dari tempat duduknya dan mempersilahkan
Fatimah untuk duduk.
Sepanjang jalan, Fatimah memperhatikan lelaki itu. Ia tidak duduk
selama 2,5 jam perjalanan. Sekalinya ada tempat duduk yang kosong, ia
melihat-lihat dulu sekitarnya, jika ada yang belum duduk maka ia tak
akan duduk. Fatimah terpesona, ia jarang melihat lelaki yang memiliki
sikap seperti ini. Padahal di sekelilingnya banyak lelaki muda yang
pura-pura tertidur karena tak rela tempat duduknya diambil orang lain.
“Akh, saya akan turun di halte selanjutnya, silahkan duduk saja di tempat saya” ujar Fatimah kepada lelaki yang ia perhatikan.
“Tidak usah ukhti, saya juga akan turun di masjid depan. Sudah Adzan
Ashar, Allah sudah memanggil” ucapnya seraya berlalu, bersiap untuk
turun dari bis.
Fatimah tertegun-tegun, untuk pertama kalinya ia mengagumi sosok lelaki yang bahkan tidak ia ketahui namanya.
Hati Fatimah berdebar, ini yang pertama kalinya. “Dia kah takdirku?
Lelaki tampan nan sholih yang Allah titipkan untukku?” tanya Fatimah,
berbisik dalam hati.
Tapi sayang seribu sayang, ketika tangan kiri sang lelaki yang
berhasil merebut hati Fatimah mengangkat ranselnya, telah ada cincin
perak yang melingkar di jari manisnya.