Jawaban Sebuah Doa
Cuaca di Kyoto sangat bersahabat siang ini, aku memutuskan untuk
berjalan-jalan di taman. Sambil menggenggam buku harian kesayanganku,
aku memandangi foto mereka di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran.
Ah, aku rindu mereka hingga tak sadar air mata ini mulai mengalir.
…
Dahulu, aku dikenal sebagai sosok yang sangat pendiam, entah di
sekolah, di tempat les, di tempat mengaji, pokoknya selain di rumah,
orang-orang mengenalku sebagai anak perempuan yang sulit bergaul. Bukan
hanya sulit bergaul, bahkan untuk berbicara pun menjadi suatu hal yang
sangat sulit untukku.
“Ajda… nama kamu bagus banget ya! Tapi kok nggak sama kaya orangnya
sih? Hahaha” Fino dan kawan-kawannya berulah lagi hari ini. Aku hanya
bisa mengelus dada, hal ini sudah tak begitu menyakitkan untukku. Hari
kemarin, aku terkena lemparan bola mereka yang penuh dengan tanah hingga
seragam putih biruku ternodai sejak pukul 7 pagi. Hari kemarinnya lagi,
tas coklat kesayanganku penuh dengan coretan spidol merah. Hari
kemarin-kemarinnya lagi bahkan aku dimarahi karena tertawa, mereka
bilang aku tak boleh tertawa karena gigiku tak enak dipandang. Konyol
bukan?
Begitulah kehidupanku di masa putih biru. Aku selalu datang paling
pagi dan juga pulang paling awal karena aku takut jadi bahan olokan
mereka jika terlalu lama ada di sekolah. Aku juga tak pernah jajan di
kantin, karena biasanya ketika aku meninggalkan kelas, barang-barangku
di kelas sudah tak utuh lagi. Maka jadilah aku si anak kuper yang
tertekan dan tak punya teman. Tak terhitung berapa kali aku menangis di
rumah dalam seminggu. Emosiku tidak stabil, aku mudah marah dan
menyalahkan orang lain.
“Allah.. tolong beri aku satu sahabat. Satu saja, aku mohon” ucapku
dalam sujudku. Rasa-rasanya aku sudah lupa bagaimana rasanya memiliki
impian dalam hidup. Setiap hari, aku hanya merasa hidup ketika aku tidak
bertemu dengan Fino dan kawan-kawannya. Aku lelah menjalani hidup
seperti ini. Wali kelasku sudah beberapa kali meminta orang tuaku datang
ke sekolah untuk membicarakan tentangku. Sebegitu mengkhawatirkankah
diriku?
Saat itu aku sudah putus asa. Aku memutuskan untuk mencari SMA
sejauh-jauhnya dari kotaku. Aku ingin menjadi Ajda yang baru tanpa
bayangan dari masa laluku. Aku mulai mempersiapkan keperluan untuk
pendaftaran, aku sungguh sungguh sudah siap untuk menjalani hidup yang
baru.
Tapi Allah punya rencana lain.
Aku gagal di seleksi tahap akhir karena nilai matematika yang kurang
0,5 poin. Aku gagal menjauhi mereka yang selalu menggangguku. Aku
menangis semalaman.
…
“Hai, kamu Ajda kan? Kenalin aku Irma teman sebangkunya Dwi. Kamu
temannya Dwi kan?” Aku memandangi orang yang menyebut dirinya Irma ini
dengan tatapan terkejut. Jarang sekali ada orang yang menyapaku terlebih
dahulu, apalagi satu paket dengan wajah riangnya.
“Eh, iya. Salam kenal, Irma” Aku menjawab dengan singkat.
“Ajda diajak siapa untuk gabung di Rohis ini? Kayanya rohis ini seru
ya, kakak-kakaknya ramah banget. Aku bahkan sampai diajak secara pribadi
sama kakak yang berkerudung biru itu.” Ia berbicara sembari menunjuk
salah satu kakak yang ia maksud. Sedangkan aku masih keheranan karena ia
orang pertama yang banyak bicara kepadaku.
Ya, akhirnya aku memberanikan diri untuk mulai bergabung dengan
ekstrakurikuler ketika aku mulai memasuki dunia putih-abu ini. Dari
sekian banyak ekstrakurikuler, aku memilih Rohis. Dan tak
disangka-sangka, Allah menjawab doaku mulai dari tempat ini. Tempat yang
aku kira akan memberikan luka baru.
Semakin lama, ekskul ini terasa berbeda. Ekskul yang notabene selalu
mengadakan acara di masjid ini ternyata memiliki kehangatan sebuah
keluarga. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa mencintai dan
dicintai selain di rumahku sendiri.
Perlahan-lahan, aku mulai mencoba untuk berubah dengan bantuan
mereka. Aku mulai memberanikan diri untuk lebih menunjukkan diri. Aku
mulai mencoba untuk lebih ekspresif, menunjukkan apa yang aku rasakan.
Dan kepercayaan diri itu mulai tumbuh meski perlahan.
Suatu hari, aku jatuh sakit tepat ketika kelas masih berlangsung
sehingga aku harus istirahat di ruang UKS. Aku tak menyangka, mereka
berbondong-bondong ke UKS, membawakan bekal dan merapikan
barang-barangku dikelas. Bahkan ada yang sampai ikut menemani,
bergantian dengan teman lain yang sedang luang. UKS tiba-tiba menjadi
ramai, ada yang mengaji, ada yang memakan bekal makan siangnya, ada yang
iseng mendorong-dorong ranjang tempatku beristirahat dan berbagai
kegiatan lainnya.
Lalu aku seketika tersadar. Allah telah menjawab doaku. Allah
memberikan banyak sahabat yang baik, bahkan bukan hanya satu. Tubuhku
memang masih menggigil dan demam. Tapi hatiku dialiri kehangatan yang
luar biasa. Aku tersenyum, memandangi mereka semua yang masih sibuk
dengan kegiatannya masing-masing di ruangan mungil ini. Dalam hatiku,
aku berjanji untuk menjaga titipanNya.
…
“Hei, Ajda! Kamu ngapain nangis sendirian disini?!” seru Dias, teman
sekamarku selama menyelesaikan studi di Negara ini. Aku terlonjak saking
terkejutnya.
“Eh Dias, duuh maaf, aku lagi rindu sahabat-sahabatku. Aku sudah tak
sabar untuk pulang” ujarku sambil menghapus sisa air mataku.
“Huh, aku kira kamu kenapa. Aku khawatir tahu! Ya sudahlah, kita pulang yuk, udaranya sudah makin dingin”
“Ayo” aku beranjak dari tempat duduk dan tak lupa memasukan buku harianku kedalam tas.
Di sepanjang perjalanan pulang, aku tetap memikirkan kepulanganku
tiga bulan lagi. Aku sungguh sudah tak sabar berkumpul lagi bersama
keluargaku di rumah dan tentu saja dengan mereka.
Ketika orang lain bangga untuk pergi, maka aku selalu bangga untuk kembali pulang.