MENOTmengusap perutnya yang tengah hamil lima bulan.Hatinya sedikit cemas. Hujan yang tak kunjung redamembuatnya teringat dengan Nalis, lakinya yang sudahpergi sejak subuh. Bukan pergi menyadap karet seperti biasa. Bu-kan. Nalis dan lanang-lanang dewasa dusun Tanah Abang sedangpergi berburu.
Bukan asal berburu pula, tapi berburu harimaubelang.Tengkuk Menot meriap, bulu kuduk di lengannya juga ikutberdiri ketika dia menyebut hewan itu dalam hatinya. Harimau be-lang. Binatang yang selama ini merekakeramatkan.
Orang-orangTanah Abang percaya, harimau belang adalah titisan leluhur darimasa silam. Puyang, begitulah mereka menyebutnya.Harimau belang tak boleh diburu. Tak boleh dibunuh. Bila adayang berpapasan dengannya di rimba karet atau pun belukar, biar-kan saja harimau itu lewat. Atau jika seseorang melintas di hutandan ada harimau belang, dia harus permisi.
Lantas, apa pasal yang membuat orang-orang Tanah Abangberbalik arah?Sebulan silam, harimau belang keluar dari dalam rimba, ma-suk ke dusundan memangsa ternak. Beberapa kambing sudah di-makan, juga anak sapi. Mula-mula orang dusun tak tahu ihwal ini,mereka menduga dusun sudah tak aman.
Ada maling yang meng-gondol hewan-hewan itu. Seminggu kemudian beberapa orangmenyaksikan sendiri, harimaubelang berukuran besar menyergapkambing yang sedang merumput di darat dusun, batas kampungdengan rimba.Cerita tentang harimau yang menyergap kambing milik Seronitu segera edar. Orang-orang yang penasaran segera mengikuti je-jak harimau yang membekas di tanah, juga bekas badan kambingyang diseret. Hanya beberapa ratus meter, mereka menemukan tu-lang belulang dan sisa-sisa kambing malang itu.
Di sana pula,orang-orang kampung menemukan sisa hewan lainnya yang mulaimembusuk.Lantaran inilah, orang-orangmulai memasukkan ternaknya kedalam kandang. Atau hewan-hewan itu diikat dan merumput di te-ngah dusun. Tak dibiarkan lagi berkeliaran sampai dekat hutanrimba itu. Tetapi inilah kesalahan besar itu.
Rasa lapar di perutnya,membuat harimau mengubah sasaran. Tiga minggu tak mendapat-kan ternak lagi, dia menyergap anaknya Kudik. Bocah laki-lakienam tahun itu diterkamnya saat tengah bermain perang-perang-an dengan kawan-kawannya di darat dusun. Kawan-kawannya his-teris. Pucat pasi dan lari terbirit-birit, meninggalkan bocah malangitu menjerit-jerit dan diseret harimau ke dalam rimba.Gemparlah dusun Tanah Abang jelang siang itu. Waktu yangsemestinya tengah mati lantaran orang-orang muda dan kuat teng-ah bergumul dengan pokok karet, tambang batubara Serpuh,ataubergumul dengan gelondongan kayu di BHT, pabrik bubur kertas,di hulu kecamatan. Baru kali ini, sepanjang sejarah Tanah Abang,puyang menyerang dan memakan manusia.
Malangnya, anak lanang Kudik itu sudahtewas.“BESOKaku akan ikut orang-orang berburu rimau,” ucap Na-lis tadi malam, ketika dia dan Menot duduk di dapur. Kedua anaklanangnya, Latas dan Pebot, sudah tertidur pulas di tengah limas.Menot segera menoleh, lakinya itu terlihat menyeruput kopi hitamyangMenot letakkan di atas meja.“Tak usahlah, Bang. Nanti kualat berburu puyang,” Menottak ingin ada hal buruk yang menimpa Nalis, dia, dan anak-anak-nya. Terlebih Menot tengah mengandung anak ketiga mereka.Perempuan berumur dua puluh enam tahun itu masihpercaya jikaseseorang tengah hamil, lakinya tak boleh berbuat macam-macamdengan binatang.Keyakinan ini makin kuat karena ketabuan ini bukan mitos se-mata. Anak pertama Ceok terlahir dengan badan lumpuh layu, takbisa bergerak, terkapar saja di ataskasur walau bujang itu sudahberumur lima tahun. Dulu, saat bininya hamil muda, Ceok sempatmenghajar ular hitam yang dia temui di kebun karetnya. Ular itumelarikan diri, tak mati tapi babak belur kena pukulan kayu dariCeok. Saat anaknya lahir, anaknya lumpuh layu. Orang-orang dusunmengatakan, Ceok kualat gara-gara ular hitam itu.Tak hanya tentang Ceok. Anak gadis Genepo yang sekarangberumur empat tahun juga mengalami nasib malang. Bibirnya sum-bing, lidahnya sedikit belah di ujung, dan anak cantik itugagu. Meli-hat kondisi anak gadisnya, tersiar kabar kalau laki-laki berperawak-an gempal itu bercerita, saat bininya hamil empat bulan, dia pergimancing ikan baung di Danau Piabong. Seekor baung yang terjeratpancing tiba-tiba lepas dan jatuh ke danau lagi saat Genepo hen-dak memasukkannya dalam keranjang. Bibir ikan itu sobek danmulutnya rusak karena kail pancing. Mendengar itu orang-orangdusun mengatakan, nasib malang anaknya kutukan dari ikanbaung.
KUMPULAN CERPEN KOMPAS 2014Harimau Belang | Guntur AlamNah, bagaimana Menot tak cemas ketika Nalis bercerita hen-dak berburu harimau belang. Binatang yang sudah puluhan bahkanratusan tahun dianggap keramat oleh orang dusun mereka. Menottak dapat membayangkan akan seperti apa nasib yang menimpaanak dalam kandungannya ini kelak.“Kalau tak dibunuh, rimau ituakan makan orang lagi. Iya ke-marin anak lanangnya Kudik, besok-besok bisa jadi anak kita,”tukas Nalis.“Tapi, Bang,” Menot masih berusaha membantah, dia mela-buhkan mata ke arah Nalis. Keduanya berpandangan dalam tema-ram lampu dapur.“Aku takut terjadihal buruk. Kau tahu sendiriaku tengah hamil. Rimau juga sangat buas. Kau bisa mati kalau di-terkamnya.” Menot memasang wajah memelas.“Aku tak bisa, Dik. Semua lanang sudah bermufakat di rumahkades kemarin malam, kita akan memburu rimau ini. Kau tenangsajalah, ada ratusan orang. Bukan aku sendiri yang mengejarnya.”Menot tak bisa berkata apa-apa lagi. Terlebih dia tak bisamenghapus bayangan istri Kudik yang menangis meraung-raungitu saat melihat anaknya pulang tak bernyawa. Tercabik-cabik. Pe-rempuanberumur tiga puluh tahunan itu jatuh pingsan berkali-kali.“Fajar anak Samin diterima jadi satpam di BHT,” ucap Nalis la-gi, tiba-tiba. Menot tersentak, dia menoleh.“Lumayan besar gajijadi satpam. Sayangnya orang-orang dusun cuma kebagian jadi sat-pam, tukang tebang kayu, tukang angkut kayu di pabrik bubur ker-tas itu. Tak ada yang diangkat jadi bos.”“Harus tamat kuliah kalau nak jadi bos, Bang,” sahut Menot.Tiba-tiba terlintas pikiran ganjil dalam benaknya mendengarucapan Nalis tadi. Apa mungkin harimau belang jadi turun ke dusungara-gara hutan rimba di sini semakin sedikit? Pikiran ini me-nyelinap karena tiba-tiba Menot teringat berita di tivi yang pernahdia tonton. Di daerah Jawa monyet-monyet ekor panjang keluardari hutan dan menyerbu rumah-rumahkarena kelaparan.
KUMPULAN CERPEN KOMPAS 2014Harimau Belang | Guntur AlamMenot sudah selesai masak makan malam. Hatinya masih di-serang cemas. Dia ingin memastikan Nalis tak menyentuh harimauitu. Diliriknya lagi jarum jam, dia ingin mandi, tapi hujan belum redajua. Kalau ke Sungai Lematang, mungkin masih akan ramai, tapi ka-lau mandi ke Danau Piabong yang berjarak beberapa ratus meterdari rumahnya itu, sudah dipastikan akan sepi. Masalahnya kulitMenot akan gatal semalaman jika dia nekat mandi di Lematang.“Tas, jaga adik. Emak nak mandi ke Piabong,” ucapnya padaLatas, anak sulungnya yang berumur sembilan tahun itu. Bocahlaki-laki itu hanya menoleh sekilas dan mengangguk, lalu matanyakembali tertuju ke layar tivi yang menayangkan film kartunSpongebob. Sementara Pebot, adiknya yang berumur lima tahunduduk di sampingnya.Menot bergegas menuruni anak tangga dapur, dia membawapayung dan tak bersendal karena takut terpeleset tanah licin. Di-cengkeramnya tanahkuat-kuat saat berjalan. Perutnya yang hamillima bulan sedikit menyulitkan langkahnya. Tebakan Menot benar,Danau Piabong sepi. Tak ada satu pun yang mandi di pangkalan.Tanpa menunggu lama, dia segera merendam dirinya di dalam air,rasa air yang sejuk dan hangat menyentuh kulitnya. Dia segera ber-sabun dan sedikit terlena dengan air itu.Hampir lima belas menit Menot mandi. Dia tersadar saat me-rasa langit kian gelap. Perempuan itu keluar dari air, menjangkauhanduk di bawah payung pinggir danau, dan tergesa ingin pulang.Tetapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di depannya.Ember sabun mandi di tangan Menot terjatuh. Seekor harimau be-lang bertubuh besar tengah berdiri menatapnya. Mata hijaunya sa-ngat tajam. Kedua kaki kanannya terlihat mengambil ancang-anca-ng. Menot lemas. Jantungnya bergemuruh hebat.“Puyang,” desisnya. [*]